zaman.id – Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) membantah pernyataan Wakil Ketua Komisi V DPR RI yang menyebut banyak kapal tua di Indonesia beroperasi di bawah standar keselamatan. Pernyataan itu mencuat pasca insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya.
Ketua Bidang Tarif dan Usaha Gapasdap, Ir. Rahmatika, M.Sc., menegaskan bahwa tidak ada istilah “kapal tua” dari sisi teknis.
“Yang ada hanyalah kapal tua secara ekonomis. Kapal di Indonesia rata-rata berusia 30 sampai 40 tahun dan seluruhnya telah memenuhi standar teknis,” katanya di Jakarta, Rabu (9/7).
Kapal Indonesia Gunakan Standar Internasional SOLAS
Menurut Rahmatika, kapal-kapal penyeberangan Indonesia mengikuti standar keselamatan internasional SOLAS, karena Indonesia telah meratifikasi aturan International Maritime Organization (IMO). “Setiap tahun kapal wajib menjalani pengedokan dan mengganti komponen yang aus lebih dari 17 persen. Jadi, secara teknis, kapal menjadi seperti baru kembali,” ujarnya.
Ia menilai seharusnya DPR RI turut mendorong perbaikan transportasi laut yang krusial bagi negara kepulauan seperti Indonesia, bukan justru menyebarkan spekulasi.
“Apalagi, pengusaha belum sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik,” tegasnya.
Banyak Kapal Tua di Negara Maju Masih Beroperasi
Rahmatika membandingkan dengan kapal-kapal feri di luar negeri. “Feri di Hong Kong telah beroperasi sejak 1888, dan masih layak. Di Kanada ada MV Chilcotin dari 1927, serta kapal-kapal feri di Filipina yang usianya lebih dari 40 tahun,” ungkapnya.
Namun, ia mengeluhkan tarif penyeberangan di Indonesia yang sangat rendah, rata-rata hanya Rp1.033 per mil. Bandingkan dengan Filipina (Rp1.995), Thailand (Rp2.984), bahkan Jepang (Rp14.135).
“Tarif kita belum sesuai hitungan riil, masih kurang 31,8 persen. Ini membuat pengusaha sulit bertahan dan banyak yang bangkrut,” jelasnya.
Infrastruktur Dermaga dan Regulasi Keselamatan Masih Lemah
Rahmatika juga mengkritik kondisi dermaga dan pelabuhan yang dinilainya belum layak.
“Banyak pelabuhan masih pakai dermaga LCM yang membahayakan kapal, tidak ada timbangan kendaraan, serta belum tersedia portal ODOL,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa keselamatan pelayaran melibatkan banyak pihak, bukan hanya operator. “Stakeholder keselamatan ada empat: regulator, operator, fasilitator, dan konsumen. Regulator justru yang paling berperan,” tegasnya.
Siap Berdialog dan Tunggu Hasil KNKT
Terkait insiden KMP Tunu Pratama Jaya, Rahmatika mengimbau semua pihak menunggu hasil penyelidikan resmi dari KNKT dan PPNS.
“Pernyataan DPR itu sangat prematur. Kami siap berdiskusi dengan Komisi V untuk menjelaskan kondisi nyata angkutan feri nasional. Ini menyangkut keselamatan publik, jadi harus cermat dan berdasarkan data,” pungkasnya.